Nestapa dari Balik Barak

26 DESEMBER 2004, wajah Aceh berduka. Kidung sendu menggema melirihkan negeri. Air meluap menenggelamkan 15 kabupaten/kota di Aceh: memuntahkan lumpur dan bebatuan. Pohon tercerabut dari akarnya; rumah penduduk lekang dari pondasinya; harta benda warga tergerus. Mayat bertebaran, puing‑puing bangunan berserakan. 173.741 nyawa meregang, 132.172 jiwa hilang, dan 420.926 jiwa mengungsi di tenda‑tenda dan barak pengungsian (hunian sementara). Para ilmuan menyebutkan, bencana itu bernama tsunami.

Kehadiran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD‑Nias dan lembaga nonpemerintah (NGO) di Aceh, ibarat oase di padang tandus. Keppres membidani kelahiran lembaga setingkat menteri ini, meniupkan angin segar bagi pengungsi menatap asa. Aroma kemunculannya, mampu meggusur kegusaran korban bencana itu.

Alhasil, beberapa korban tsunami kini telah menempati rumah bantuan lembaga donor. Akan tetapi, ada juga yang masih “mendekam” di tempat pengungsian; mereka belum memperoleh rumah. Beberapa tahun sudah, puasa dan lebaran mereka lewatkan di barak pengungsian. Bahkan, mereka juga harus menerima kenyataan, merayakan lebaran seadanya.

Padahal, lebaran memiliki arti penting dalam kehidupan umat muslim. Terutama, bagi yang berdomisili di Aceh. Lebaran selalu dimaknai sebagai hari berkah: hari fitri, hari pengampunan, dan hari memaafkan. Lebaran juga selalu dinisbahkan pada sesuatu yang indah; saling menyelami hati, mulai dari jabat tangan sampai menjenguk sanak famili.

Biasanya, lebaran dirayakan bersama keluarga. Kebiasaan orang Aceh, bila lebaran sudah dekat, semuanya harus dipersiapkan. Mulai membersihkan pekarangan, menata kembali interior rumah, juga membuat kue‑kue tradisional untuk memuliakan tamu. Ritual baje baroe dan mudik pun bagaikan keharusan dalam merayakan lebaran.

Tahun ini, masih banyak korban tsunami di Aceh harus merayakan lebaran di barak. Jauh dari keluarga dan sanak saudara. Sebagian besar dari mereka berada di Banda Aceh dan Aceh Besar. Bagaimana mereka menghadapi kepedihan; melewatkan hari kemenangan ini dengan kehidupan sederhana, tanpa saudara maupun keluarga yang mencinta?

***

Rohani (60) dan ibu‑ibu penghuni barak Malaysia di Desa Klieng Meuria, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, hanya sibuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Saat itu, terlihat beberapa remaja dan anak‑anak yang sedang bermain di pelataran depan barak tersebut. Mereka seakan tak mempedulikan kehadiran lebaran di ambang fajar.

Bersama Rohani, terdapat delapan Kepala Keluarga (KK) penghuni barak, merayakan lebaran di barak 17 ruang tersebut.

Menurut penuturan Rohani, sebenarnya bukan hanya delapan KK yang masih tinggal di barak seluas 3X4 meter itu. Sebagian dari mereka sudah pulang ke rumah saudara atau famili terdekat. “Maklum kan, hampir hari raya. Lagi pula keadaan di sini sangat rentan terhadap penyakit, terutama gatal‑gatal. Di sini airnya agak susah,” katanya.

Setelah sekian lama tsunami berlalu, Rohani masih saja harus hidup dalam keadaan serbasusah. Dia dan anak cucunya sudah tiga tahun harus “mendekam” dalam bangunan papan tersebut. Tentunya, sudah tiga tahun pula lebaran dirayakan di tempat itu. “Sudah empat kali hari raya kami di sini. Hari raya ini kelima,” ujar Rohani.

Kini, mereka hanya bisa merasakan kesedihan. Rumah bantuan BRR NAD‑Nias yang mereka idamkan, urung berdiri. Penyebabnya, ada oknum kontraktor mencuri bahan bangunan untuk membangun rumah mereka. Hingga kini, rumah mereka tak juga kunjung siap dikerjakan. “Tapi pencuri itu sudah masuk penjara sekarang,” ujarnya, lega.

Zahara, penghuni barak itu juga mengatakan, dirinya sudah tiga tahun harus tinggal di barak bersama kakaknya, Aminah. Zahara adalah warga Mireuk Taman yang direlokasi ke barak itu karena belum memiliki rumah. Zahara yang masih bingung dengan kepastian rumah yang akan ditempatinya itu, mengaku sudah sangat bosan bila harus terus‑menerus berlebaran di tempat itu.

Nasib sama diutarakan Syukri. Remaja itu mengaku sangat terpukul. Alasanya, dia masih harus melewati hari perayaan suci itu di barak. Rumah baru tipe 3 X 6 meter yang telah dijanjikan BRR NAD‑Nias itu, tak kunjung siap dikerjakan.

“Kan, bisa lihat sendiri penderitaan kami. Lagi pula orang lain hampir semua sudah pulang ke rumah barunya. Hanya gara‑gara kontraktor pencuri itu, nasib kami jadi begini,” timpal Syukri.

Kegetiran merayakan lebaran tanpa rumah sendiri, juga dirasakan warga barak Istanbul, di Lamkawe, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Di sana, masih ada sekitar 80 KK. Salah satunya Darwati (30), warga Lamteumen, Banda Aceh. Ia tinggal di Barak itu bersama suami dan tiga anaknya.

“Kami tidak tahu sampai kapan kami harus tinggal di sini. Hari berganti hari, bahkan sudah beberapa kali lebaran kami masih tetap menetap di barak,” ujar Darwati. Namun, setiap lebaran ia sempat berkumpul dengan keluarga besarnya. Sebab, semua keluarganya juga tinggal di barak itu.

Perasaan sama juga dirasakan Nurmala (25). Warga Lamteumen yang tinggal di Barak IOM Desa Lagang, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar itu merasa sedih setiap kali menghadapi lebaran. “Kami hanya bisa pasrah. Rata‑rata kami yang masih tinggal di barak ini sekitar 40 KK lagi, sepertinya akan terus tinggal di barak,” kata Nurmala.

Keluh kesedihan lantaran harus merayakan lebaran di barak, juga terdengar dari bilik hunian ementara di sejumlah titik di Sabang.

Beberapa warga barak di Cot Abeuk, Balohan, Perikanan, Batre, dan Krueng Raya mengaku tidak punya persiapan apapun menghadapi lebaran nanti. Namun, lebaran tetaplah lebaran. Sedangkan mereka—mau tak mau—harus melewati hari kemenangan dalam bentang ruang yang sempit dan terbatas. Bahkan, di Pantai Kasih ada yang masih berteduh di bawah naungan tenda.

Mungkin bagi mereka yang merayakan lebaran di barak, masih mending karena bisa tinggal di tempat teduh. Tapi, lihatlah bagaimana kondisi penghidupan Lukman (49), warga Kota Atas yang hingga kini masih berteduh di bawah tenda bantuan Global Sikh, di bekas pertapakan rumahnya di Pantai Kasih.

Lukman adalah nelayan korban tsunami yang hingga hari ini masih menetap di bawah tenda bersama istri dan empat anaknya. Awalnya, ia sempat menumpang di lantai dua rumah beton milik tetanggnya. Namun, setelah rumah itu direhab sang pemilik, ia terpaksa mendirikan tenda di bekas pertapakan rumahnya.

Ia sudah tiga tahun menetap di tenda itu. Selain tenda, ia juga membuat dapur terpisah. Dinding dan atapnya mengandalkan seng‑seng bekas. Sedangkan di sisi depan tenda, ia juga membuat satu rumah mungil yang dibuat dari papan dengan luas sekitar 3 X 4 meter. Rumah mungil itu sering mereka gunakan kala musim hujan tiba. Maklumlah, yang namanya tenda, ada saja celah dimasuki air. Tak ayal, rumah mungil nan sempit tadi jadi semacam “bungker” untuk menghindari guyuran hujan.

Sementara kesiapannya menjelang lebaran, Lukman tidak tahu bicara apa. Sebab, sehari‑harinya ia hanya mencari ikan di laut. Penghasilannya tidak seberapa. “Belum tahu juga. Lebaran tetap lebaran, tapi kami ini belum tahu bagaimana beli pakaian anak dan yang lainnya,” kata Lukman.

Kini, pengungsi harus melantunkan gema takbir kemenangan dari balik dinding reot barak tsunami. Getir. Hanya kata lirih yang kerap terdengar dari mulut‑mulut penghuni tempat penampungan sementara itu. Bagi mereka, barak bukan sekadar untuk sementara. Tiga tahun sudah mereka berlebaran di tempat itu. Lebaran yang sakral tak terlalu memberi makna lahiriah buat mereka.

Azwani Awi

Satu Tanggapan to “Nestapa dari Balik Barak”

  1. Luar biasa pak popon ini
    salam
    jaka

Tinggalkan Balasan ke jaka Batalkan balasan